Kisah Anak Kecil Hidup di Kamp Konsentrasi Ambarawa

Bagikan

Pada 19 Maret 1943, Nora Sutorius Valk kecil menjadi penghuni Kamp Konsentrasi Ambarawa. Di sana dia tinggal bersama ibunya Gladys Mary Valk Davison.

Mereka adalah bagian dari 400 warga Belanda, Indo Belanda dan keturunan Eropa. Semuanya tiba di Stasiun Willem I. Sekarang menjadi Stasiun sekaligus Museum Kereta Api Ambarawa.

Ke-400 orang yang terdiri atas wanita dan anak- anak perempuan/ laki- laki di bawah usia 15 tahun. Semuanya merupakan interniran gelombang ke-dua yang ditawan tentara Jepang.

Mereka dipindahkan dari Surabaya untuk ditempatkan di Kamp Konsentrasi 9 Ambarawa. Kini meliputi Sekolah Menengah Kejuruan Sekolah Pertanian Pembangunan (SMK SPP) Kanisius Ambarawa dan SMP Mater Alma, di Jalan Mgr Sugiyopranoto, Ambarawa.

Masih Ingat Kamp Konsentrasi Ambarawa

Dia masih ingat, tentara Nippon memintanya untuk bergegas menuju kereta. Mereka hanya diperbolehkan membawa satu matras untuk alas tidur, satu koper berisi pakaian, satu piring dan satu gelas. “Mengerikan,” jelas Nora yang kini berusia 89 tahun.

Hancurnya armada Pasifik di Pearl Harbour, Hawaii oleh serangan senyap Jepang, Desember 1941, menjadikan Jepang kian agresif. Pasukan Nippon meningkatkan skala kekuatannya di kawasan Asia Timur, termasuk Indonesia.

Tiga bulan berselang menjadi titik nadir kehidupan warga Belanda yang ada di Indonesia. Belanda menyerahkan kekuasaannya di Indonesia tanpa syarat kepada Jepang melalui Perjanjian Kalijati, 8 Maret 1942.

Warga Belanda jadi tawanan

Setelah menjajah dan berkuasa atas Indonesia, tentara kekaisaran Jepang selanjutnya menjadikan warga Belanda sebagai interniran. Sebagian (tawanan pria) dibawa ke berbagai wilayah kekuasaan Jepang di Asia Timur untuk dikerjapaksakan.

Sementara para perempuan serta anak- anak (sinyo/ noni) dimasukkannya ke kamp- kamp konsentrasi di Jawa. Salah satunya di wilayah Kawedanan Ambarawa. Sebagai gadis yang masih belia (13 tahun), ia tak banyak tahu situasi yang berubah begitu cepat.

“Yang saya tahu, kami (keluarga) dipisahkan, tak ada lagi kebebasan, harus tunduk kepada tentara Nippon dan hidup di kamp konsentrasi yang menyedihkan,” katanya.