Yaman memiliki pesona yang tak pernah ada habisnya. Negara yang kaya akan wisata sejarahnya ini dapat disambangi wisatawan kapan saja. Salah satu yang menarik perhatian adalah kota tua Sana’a. Kota ini tak seperti banyak kota di Jazirah Arab lainnya, Sana’a lebih memilih untuk menolak modernisasi dan mempertahankan kharisma sejarah lampaunya.
Sebab itu, jika berkunjung ke sana tak akan ditemui bangunan beton dengan kaca mengilap menjulang. Mata para penjelajah Sana’a akan mendapati bangunan-bangunan dari tanah liat merah muda hingga kemerahan. Tanpa banyak lalu-lalang kendaraan bermotor, mereka yang singgah di Sana’a seolah dibawa kembali ke masa lalu melalui lorong waktu.
Kota ini sendiri memiliki penduduk sekitar 1,937 juta jiwa pada 2012, sekaligus menjadi kota terbesar di Yaman dengan pemerintahan administrasi khusus. Di bawah konstitusi Yaman, Sana’a menyandang status sebagai ibu kota negara.
Sejarah mencatat, Sana’a merupakan salah satu kota tertua yang secara berkesinambungan terus berpenghuni. Berada 2.300 meter di atas permukaan laut, Sana’a bisa disebut salah satu ibu kota ‘tertinggi’ di dunia.
Sana’a juga merupakan salah satu kota tertua di dunia yang terkenal dengan legenda penduduk setempat. Kota ini didirikan oleh Shem, anak Nabi Nuh AS.
Pada masa lampau, Sana’a dikenal dengan nama Azal yang merujuk ada Uzal, cicit Shem. Azal sendiri merupakan turunan dari kata Bahasa Arab Selatan yang artinya dibentengi dengan baik. Arti nama itu kemudian menggema hingga ke Ethiopia dan di sana kota ini dikenal dengan Auzalities yang muncul pada abad keenam Masehi.
Sejarawan Arab, al-Hamdani menulis, karena posisinya strategis, Sana’a jadi pusat urban bagi suku- suku sekitar dan jadi inti aktivitas perdagangan di selatan Jazirah Arab. Sana’a juga merupakan persimpangan dua jalur perdagangan kuno yang menghubungkan Maghribi di timur dengan Laut Merah di barat. Saat penguasa terakhir Kerajaan Himyarite, Raja Yousef Athar (atau Dzu Nuwas) berkuasa, Sana’a juga merupakan bagian ibu kota Ethiopia.