Menurut Ibn Isyhaq, Jurhum dan Qathura‘ adalah penduduk Makkah. Jurhum dan Qathura’ adalah saudara misan yang datang dari Yaman. Keduanya ikut rombongan musafir.
Orang Jurhum dipimpin Mudzadz bin Amr, dan orang Qathura’ dipimpin As-Samaida’, salah seorang dari mereka, karena kebiasaan orang-orang Yaman, jika mereka keluar dari Yaman, mereka tidak keluar kecuali dipimpin orang yang mengurusi segala persoalan mereka.
Tiba di Makkah, Jurhum dan Qathura‘ melihat daerah yang kaya air dan pohon, dan keduanya tertarik kepada daerah tersebut dan berhenti di sana. Mudzadz bin Amr dan orang-orang Jurhum yang ikut bersamanya singgah di Makkah atas, tepatnya di Qu’aiqi’an dan tidak keluar daripadanya.
Sedang As-Samaida’ singgah di Makkah bawah, tepatnya di Jiyad dan tidak keluar daripadanya. Mudzadz memungut uang sepersepuluh bagi orang yang masuk Makkah dari Makkah atas.
As-Samaida’ juga memungut uang sepersepuluh bagi siapa saja yang memasuki Makkah dari Makkah bawah. Masing-masing dari keduanya berada di kaumnya masing-masing dan tidak masuk kepada yang lain.
Sejarah Permusuhan antara Jurhum dan Qathura’
Dalam perjalanan waktu, Jurhum dan Qathura’ saling serang terhadap yang lain dan bersaing memperebutkan jabatan raja. Ketika itu, Mudzadz didukung anak keturunan Ismail dan anak keturunan Nabit. Mudzadz mempunyai hak mengelola Baitullah dan bukannya As-Samaida’.
Sebagian dari mereka berjalan menuju sebagian yang lain. Mudzadz bin Amr berangkat dari Qu’aiqi’an bersama pasukannya dengan tujuan As-Samaida’. Pasukannya bersenjatakan tombak, perisai, pedang, dan tempat anak panah yang menimbulkan suara gemerincing.
Konon Qu’aiqi’an dinamakan Qu’aiqi’an karena kejadian tersebut (suara gemerincing). As- Samaida’ juga keluar dari Jiyad dengan membawa kuda dan pasukannya. Konon, Ajyad tidak dinamakan Ajyad melainkan karena keluarnya kuda-kuda bersama As-Samaida’ dari Ajyad.
Kedua belah pihak bertemu di Fadhih, kemudian mereka bertempur dalam perang yang sengit. As-Samaida’ tewas dalam pertempuran tersebut dan orang-orang Qathura’ dikecam habis-habisan. Konon Fadhih tidak dinamakan Fadhih kecuali karena kecaman tersebut.
Setelah itu, kedua belah pihak mengajak berdamai. Mereka berjalan hingga tiba di Al- Mathabikh, jalan di antara dua bukit di Makkah atas. Mereka berdamai di sana dan menyerahkan permasalahannya kepada Mudzadz.
Ketika pengelolaan Makkah diserahkan kepada Mudzadz, dan ia menjadi raja di Makkah, ia menyembelih hewan untuk manusia, memberi mereka makan, menyuruh manusia masak, dan makan.
Konon, Al-Mathabikh tidak dinamakan Al-Mathabikh melainkan karena kejadian tersebut. Sebagian orang-orang berilmu menduga, bahwa Al-Mathabikh dinamakan Al-Mathabikh, karena orang-orang Tubba’ (Yaman) menyembelih hewan di tempat tersebut.
Kemudian memberi makan warganya, dan tempat tersebut adalah tempat kediaman mereka. Apa yang terjadi antara Mudzadz dengan As-Samaida’ adalah kedza-liman pertama di Makkah, menurut sebagian besar orang.
Kemudian Allah menyebarkan anak keturunan Ismail di Makkah, dan paman-paman mereka dari Jurhum menjadi pengelola Baitullah dan penguasa di Makkah tanpa ada satu pun dari anak keturunan Ismail yang memprotesnya.
Sebabnya, karena orang-orang Jurhum adalah paman mereka, dan kerabat mereka, serta karena menjaga keagungan Makkah agar tidak terjadi pelang-garan dan peperangan di dalamnya.
Ketika Makkah terasa sempit bagi anak keturunan Ismail, mereka berpencar-pencar ke banyak negeri. Jika mereka diperangi musuh, Allah menolong mereka karena agama mereka hingga mereka berhasil mengalahkan musuh- musuhnya dan menguasai negeri mereka.”