Semur merupakan masakan masyarakat Indonesia yang sangat mudah ditemukan, terutama di wilayah Jawa. Namun, apakah tahu kalau makanan ini ternyata merupakan pembauran dari beberapa tradisi masak negara lain?
Chef Wira Hardiansyah menjelaskan kata semur berasal dari kata “Stomerij” atau dalam bahasa Inggris //steamer//, kata tersebut dikenal dan diucapkan oleh orang Indonesia zaman dulu semur. Dari kata itu makanya makanan berwarna hitam tersebut bernama semur dan dikenal di banyak kebudayaan kuliner Indonesia.
Namun, olahannya justru sudah ada sejak abad ke-9. Ketika itu olahan daging sudah ditemukan dalam masakan, salah satunya olahan daging kerbau dari Madura berwarna hitam dengan menggunakan gerabah.
Baru abad ke-10 kecap dikenal di tanah Nusantara. Karena kedatangan saudagar Cina dan mereka menikah dengan perempuan-perempuan Indonesia. Hanya saja, lidah mereka asing dengan rasa kecam asin yang dibawa, dan mengolah kecap menjadi berasa manis seperti sekarang.
“Pedangan ini menikah dengan kaum pribumi yang suka manis, akhirnya berubah menjadi kecap manis dan hidangannya pun sama,” ujar Chef Wira.
Bumbu semur
Pada masa itu, rempah-rempah seperti lada, pala, cengkeh belum masuk dalam hidangan semur. Baru ketika penjajah masuk untuk berburu rempah-rempah, semur pun mendapatkan sentuhan itu agar menaikkan kelas hidangannya.
“Ini menjadi hidangan tingkat atas pas masuk rempah-rempah seperti cengkeh, pala, kayu manis, yang dulunya tidak ada dalam dokumentasi makanan Tionghoa,” ujar pemasak makanan Indonesia ini.
Makanan mahal
Semur menjadi makanan mahal karena diberi rempah-rempah yang pada masa itu memiliki harga setara logam mulia emas. Hanya orang-orang tertentu yang memakan hidangan tersebut.
Semur baru terdokumentasi dalam buku Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek. Buku ini terbit pada 1902. Di dalamnya terdapat enam resep semur, yaitu Smoor Ajam I, Smoor Ajam II, Smoor Ajam III, Smoor Bandjar van Kip, Smoor Banten van Kip, Solosche Smoor van Kip.
“Ini bukan berarti semur pertama itu ayam, hanya saja memang yang terdokumentasi ini, mungkin saja penulisnya memang hanya suka ayam, bukan daging,” ujar Chef Wira.