Mengapa Penduduk Madinah Lebih Ramah Dibanding Kota Lain di Saudi?

Penduduk Kota Madinah

Bagikan

Keistimewaan Kota Madinah sangat banyak. Kota yang bernama lengkap Madinah Al Munawaroh. Nama ini diberikan langsung oleh Nabi Muhammad SAW yang sebelumnya bernama Yatsrib.

Sejak zaman Nabi, Kota Madinah sudah memiliki keistimewaan tersendiri. Kota ini dikenal sebagai tempat yang penduduknya ramah, perangainya halus dan memiliki akhlak mulia dibanding penduduk kota lain.

Bahkan, saking istimewanya kota ini, Allah SWT menyebutnya beberapa kali dalam Al Quran. Di antaranya dalam surah at-Taubah ayat 101 dan 120; surah al-Ahzab dalam ayat 60; surah al-Hasyr ayat 9; dan surah al-Munafiqun ayat 8.

Kedatangan Nabi di Madinah tercatat pada hari Jumat, tanggal 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan 27 September 622 M. Kedatangan Nabi menjadi momentum yang menggembirakan bagi warga Yatsrib kala itu.

Para tokoh di Madinah hingga budak, menyambut gembira kedatangan orang paling suci di muka bumi itu. Kondisi Kota Madinah yang gembira itu, digambarkan oleh Anas bin Malik sebagai momen yang bercahaya.

“Pada hari ketika Rasulullah SAW memasuki kota Madinah, segala sesuatunya bercahaya, sedangkan pada hari ketika beliau diwafatkan, segala sesuatunya terasa gelap,” kata Anas.

Allah membuka hati penduduk Madinah kala itu. Kedatangan Nabi membuat warganya memeluk Islam.

Karakter penduduk Kota Madinah menjadi perhatian banyak orang, karena memang sangat berbeda dengan karakter penduduk kota lain. Sebut saja Kota Makkah, di mana penduduknya cenderung lebih kaku.

Dijelaskan oleh Muhammad Musthofa Mujahid dalam bukunya berjudul Abqariatu ar-Rasul fi Iktisab al-‘Uqul, bahwa faktor utama pembentuk karakter penduduk Madinah, yakni profesi mereka sebagai petani, mengutip Republika.

Kata dia, masyarakat petani terbiasa dengan tolong-menolong, baik dalam skala kecil di lingkup keluarga, maupun di lingkup lebih luas. Selain itu aktivitas pertanian memang menuntut kerja tim, khususnya saat musim tanam dan musim panen.

Di antara masa tanam dan masa panen, para petani saling menjaga tanaman satu sama lain. Mereka berkolaborasi, bersosialisasi dalam mengerjakan berbagai hal seperti saat mengolah susu dan hasil pertanian.

“Kondisi seperti ini membentuk karakter masyarakat Madinah yang terbuka, baik untuk berdialog ataupun kerja sama,” tulisnya.

Sebaliknya, di Kota Makkah, yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pedagang, yang memiliki gaya hidup sangat cepat. Untung-rugi menjadi doktrin yang tertanam dalam diri mereka.

Menurut Musthofa, itu membuat warga Kota Makkah cenderung lebih sulit berdialog.

Disebutkan olehnya, Umar bin Khathab pun terheran-heran dengan keluwesan penduduk Kota Madinah. Namun, ia segera menyadari bahwa watak mereka terbentuk karena pola kerja keseharian yang digeluti.