Menteri Agama Republik Indonesia periode 2019-2024 Jenderal (Purn.) Fachrul Razi sah dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu 23 Oktober 2019 di Istana Negara Republik Indonesia, di Jakarta.
Menteri Agama yang juga mantan Wakil Panglima TNI ini sebelumnya pernah menjabat sebagai Presiden Komisaris di PT Central Proteina Prima (CP Prima) dan Komisaris Utama di PT Antam Tbk sejak 2015.
Selain itu, dirinya juga menjadi komisaris di PT Toba Sejahtera Group milik Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan.
Penunjukan Fachrul Razi sebagai Menag sejak era reformasi yang selalu dijabat oleh kalangan sipil yang selalu terafiliasi dengan organisasi Muhammadiyah atau Nahdhatul Ulama.
Terakhir kali Menteri Agama berasal dari kaum militer terjadi di zaman Orde Baru. Pengangkatan Fachrul Razi menunjukkan Jokowi seakan-akan ingin mengulangi apa yang pernah dilakukan Soeharto, seperti dikutip dari Tirto.
Pada 1978 Soeharto menunjuk Alamsjah Ratu Prawiranegara sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan III. Alamsjah merupakan seorang tentara.
Menteri Agama RI Baru Banyak Menuai Protes
Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ( PBNU) KH Robikin Emhas mengatakan, pihaknya menerima protes dari banyak kiai.
“Saya dan pengurus lainnya banyak mendapat pertanyaan terkait Menteri Agama. Selain pertanyaan, banyak kiai dari berbagai daerah yang menyatakan kekecewaannya dengan nada protes,” kata Robikin, dilansir dari Kompas.
Kata Robikin, para kiai paham bahwa Kemenag harus berada di garda depan dalam mengatasi radikalisme berbasis agama. Namun sayangnya, pemilihan pemimpin Kemenag tak sesuai dengan yang diharapkan dalam membentengi NKRI dari ajaran radikalisme.
“Para kiai sudah lama merisaukan fenomena terjadinya pendangkalan pemahaman agama yang ditandai merebaknya sikap intoleran. Lebih tragis lagi, bahkan sikap ekstrem dengan mengatasnamakan agama. Semua di luar kelompoknya kafir dan halal darahnya. Teror adalah di antara ujung pemahaman keagamaan yang keliru seperti ini,” katanya.
Karena dampak dari radikalisme itu sangat membahayakan, kata Robikin, maka secara kelembagaan, NU sudah mengantisipasi dan mengingatkannya jauh-jauh hari.
“Bahkan NU menyatakan Indonesia sudah kategori darurat radikalisme, di samping darurat narkoba dan LGBT,” tandas Robikin.