Oleh: Melati Putri Pertiwi
Pasar adalah salah satu ciri dari berkembangnya peradaban dalam sebuah masyarakat. Pasar, menilik definisi KBBI (Kamus Besar Bahsa Indonesia), diartikan sebagai tempat orang berjual beli dimana penjual ingin menukar barang atau jasa miliknya dengan alat tukar yang sah (uang) dengan pembeli yang berminat terhadap barang atau jasa tersebut.
Lebih lanjut, Hendri Ma’ruf mendefinisikan pasar dalam tiga hal, yaitu: pertama adalah sebuah tempat bertemunya penjual dengan pembeli; kedua adalah sebagai tempat terjadinya penawaran, permintaan, dan transaksi jual beli; dan yang ketiga adalah sekumpulan orang yang berusaha untuk mendapatkan barang atau jasa serta memiliki kemampuan untuk membeli barang atau jasa tersebut.
Oleh karena itu semakin maju dan berkembang sebuah masyarakat, maka akan semakin besar dan kompleks pula pasar yang dibangun.
Pasar, dalam perkembangannya, tidak melulu hanya tentang jual dan beli. Semakin bergerak zaman, pasar juga merupakan cerminan budaya serta kearifan lokal yang agung dari masyarakat di sekitarnya.
Melalui sebuah pasar, kita mampu melihat sejarah, ciri, akulturasi, atau bahkan kisah unik dari masyarakat yang membangunnya. Dalam artikel ini, penulis tertarik untuk menyoroti sebuah pasar tradisional yang sangat monumental dan menjadi salah satu ikon kota Solo, yaitu Pasar Gedhe.
Mengapa penulis menyebut Pasar Gedhe sebagai salah satu ikon kota Solo? Jawabannya ternyata tidak bisa dijelaskan dalam sebaris atau dua baris kalimat. Hal itu disebabkan karena ada banyak sekali keunikan, keistimewaan, serta kecantikan Pasar Gedhe yang tidak dimiliki oleh pasar-pasar tradisional lain di Indonesia.
Salah satu yang menurut penulis sangat menarik dari sebuah Pasar Gedhe adalah kisah sejarah yang ada di balik pembangunannya.
Pada mulanya, Pasar Gedhe yang dibangun pada zaman kolonial Belanda ini hanyalah sebuah pasar kecil yang berupa los-losan sederhana di area seluas 10.421 hektare. Akhirnya pada tahun 1929, Pakubuwono X memperbesar dan mempermegah pasar ini dengan menggandeng arsitek Belanda ternama saat itu, yaitu Ir. Herman Thomas Karsten.
Dengan menggabungkan gaya arsitektur Jawa-Belanda, Karsten menciptakan sebuah pasar yang cantik, unik, dan elok. Karsten yang juga merancang Pasar Johar Semarang ini bahkan sangat membanggakan bangunan Pasar Gedhe. Karena gaya arsitekurnya yang lain daripada yang lain, Pasar Gedhe menjadi rujukan bagi banyak peneliti arsitektur asing.
Dua bangunan Pasar Gedhe, yang masing-masing terdiri dari dua lantai, akhirnya selesai dibangun pada tahun 1930. Pada awal berdirinya, Pasar Gedhe memiliki nama lengkap Pasar Gedhe Hardjonagoro.
Gedhe berasal dari bahasa Jawa yang berarti “besar”. Pasar ini diberi nama “gedhe” disebabkan karena atap besar berbentuk joglo yang menutupi bangunan depan pasar. Selain bangunannya yang unik, bagian dalam pasar juga nampak lega, tertib, bersih, dan nyaman.
Dengan banyaknya ventilasi udara, suasana dalam pasar-pun tidak terasa pengap. Ventilasi serta bukaan yang banyak juga memberikan keuntungan lain, yaitu memudahkan masuknya cahaya matahari ke dalam pasar sehingga pasar nampak terang dan cerah.
Selain dari segi asitektur, Pasar Gedhe juga memiliki keistimewaan lain, yaitu menjadi sebuah bangunan yang menandakan keharmonisan, toleransi, serta keselarasan antara penduduk pribumi dengan etnis-Tionghoa di Solo.
Hal ini menilik pada sejarah awal pembangunan Pasar Gedhe. Menarik jauh mundur ke belakang, saat Pasar Gedhe masih berupa pasar tradisional kecil Hardjonagoro, pemerintah Keraton Kasunan Surakarta memberikan konsesi hak pengelolaan pasar kepada Tjan Sie Ing, yaitu seorang Lieutenant de Cinezen (pimpinan golongan etnis Tionghoa).
Keharmonisan yang tercipta antara warga pribumi dengan warga etnis Tionghoa tercermin dari berbaurnya kedua etnis tersebut, baik sebagai penjual maupun pembeli, di dalam lingkungan Pasar Gedhe mulai sejak awal dibangunnya pasar hingga saat ini.
Kultur keharmonisan inipun semakin nampak dari terpelihara baiknya kelenteng Budha Tien Kok Sie yang ada di samping selatan Pasar Gedhe.
Dengan berbagai keutamaan yang dimilikinya, Pasar Gedhe saat ini tidak hanya berfungsi sebagai area transaksi jual-beli saja, namun juga menjadi salah satu tujuan wisata yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Mulai dari kecantikan seni arsitekturnya yang khas Jawa-Belanda, keharmonisan kultur di dalamnya, keakraban dan interaksi sosial masyarakatnya, hinga-tentu saja-berbagai barang serta kuliner yang dijajakan, akan mampu meninggalkan berbagai kenangan indah bagi Anda yang sedang berlibur di kota Solo.
Penulis, yang merupakan warga Solo asli, membuktikan sendiri keelokan yang dimiliki oleh Pasar Gedhe. Karena keelokannya, pasar yang pernah terbakar pada tahun 1948 dan 2000 ini pernah meraih predikat sebagai Pasar Tradisional Terbaik di Jawa Tengah tahun 2011. Dan memang benar, kecantikan Pasar Gedhe sudah terlihat sejak dari luar.
Dua buah bangunan kokoh dengan struktur benteng yang lebar dan panjang sudah menyambut penulis dari depan. Ciri khas bangunan kolonial dengan dinding tebal, kolom-kolom besar, dan jendela-jendela serta pintu besar lengkung memang sangat kentara dalam arsitektur Pasar Gedhe.
Pintu utama yang megah, jendela tinggi lengkung, serta atap joglo yang besar menjadi nafas utama ketika Anda memandang Pasar Gedhe dari depan.
Hal menarik lain dari Pasar Gedhe adalah dimana dua bangunan pasar berada di persimpangan jalan sehingga memisahkan jalan raya menjadi tiga bagian. Posisi ini menjadikan Pasar Gedhe seolah-olah menjadi view utama dari sebuah pusat kota.
Lokasinya yang dekat dengan bangunan-bangunan penting kota, seperti Balaikota, Gedung Bank Indonesia, Benteng Vastenburg, Masjid Agung Surakarta, Pasar Klewer, hingga Keraton Kasunanan, menjadi nilai tambah tersendiri bagi Pasar Gedhe.
Lokasi pasar yang sangat stategis ini tentu memudahkan Anda apabila hendak berwisata ke objek-objek wisata lainnya.
Membicarakan pasar, tentu jangan dilupakan barang ataupun kuliner yang dijajakannya, tak terkecuali Pasar Gedhe. Layaknya pasar-pasar tradisional kebanyakan, Pasar Gedhe juga menjajakan sayur mayur, bumbu-bumbu dapur, daging segar, buah-buahan, hingga kuliner tradisional seperti kue-kue basah ataupun kuliner khas kota Solo lainnya.
Apabila Anda mengunjungi pasar ini, jangan sampai terlewat mencicipi dawet selasih Pasar Gedhe yang sangat terkenal. Es dawet yang dipadu dengan gula merah, santan, dan selasih ini pasti akan menyegarkan tenggorokan Anda saat berwisata di kota Solo yang panas. Rasa khas yang dimiliki es dawet ini juga mampu meninggalkan kesan yang tak terlupakan.
Kuliner lain yang juga sayang untuk Anda lewatkan adalah Timlo Sastro. Rumah makan Timlo yang juga berada di area Pasar Gedhe memberikan suguhan sup timlo yang tak kalah nikmat dan segar. Tentu ada banyak kuliner-kuliner khas lainnya yang tidak boleh Anda lupakan.
Anda cukup catat kisah menarik dan kuliner apa saja yang wajib Anda explore dari pasar nan elok ini ketika Anda berwisata di Kota Solo. Selamat berlibur di kota Surakarta, The Spirit of Java.
Hegrah Al Ula, atau Madain Salih merupakan situs arkeologi di tengah padang pasir di wilayah…
Keberadaan pengemis di Arab Saudi semakin memprihatinkan. Menurut laporan, sebanyak 90 persen pengemis yang ada…
Tanah Suci Makkah adalah tempat paling mulia untuk memanjatkan doa kepada Allah SWT karena di…
Penyelenggaraan ibadah haji 2024 terbilang cukup sukses, bahkan sangat memuaskan menurut catatan Badan Pusat Statistik…
Setidaknya ada 7 julukan bagi Kota Makkah. Kota yang paling suci bagi umat Islam ini…
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dituding mangkir dari panggilan Pansus Angket Haji DPR dengan…