Seorang istri harus mendapat izin suami untuk bepergian ke luar rumah. Restu seorang suami menjadi penting diperhatikan karena itu mengacu pada salah satu hadis Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Apabila istri kalian meminta izin kepada kalian untuk berangkat ke masjid malam hari maka izinkanlah……”
Hadis ini menjadi acuan bagi seorang istri untuk meminta izin kepada suami saat keluar rumah, walaupun untuk tujuan ibadah. Aturan ini, juga berlaku bagi wanita yang hendak melakukan ibadah haji.
Namun, perlu dicatat bahwa ibadah haji adalah kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan.
Lantas bagaimana seandainya suami tidak memberi izin kepada istri untuk pergi haji, sedangkan hukum haji adalah wajib?
Mengutip dari kitab Fiqhun Nisa’ fil Hajj karya Muhamma Athiyyah Khumais, dikatakan bahwa istri boleh pergi haji tanpa seizin suami.
Dengan alasan, hukum haji adalah wajib, dan karena meninggalkan yang wajib termasuk dalam perkara dosa.
Selain itu, juga ada kaidah yang menyatakan bahwa la tha’ata lil makhluqin fi ma’siatil khalik, artinya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah.
Dalam hal ini, suami adalah makhluk yang tidak boleh menghalangi seseorang menjalankan perintah Allah.
Perlu dicatat, meski tidak perlu mengantongi izin suami saat hendak berangkat haji, seorang wanita harus berangkat haji bersama mahramnya.
Meskipun dalam pandangan mazhab Maliki dan Syafii tidak mensyaratkan mahram bagi wanita untuk berangkat haji.
Izin suami bukan lagi penghalang bagi wanita untuk berangkat haji, namun perlu dipastikan bahwa biaya haji yang digunakan tidak membebani suami.
Suami Enggan Memberi Ongkos Haji
Jika seorang istri meminta ongkos haji ke suami, dan suami tidak memberi karena alasan tertentu, maka istri harus menerima kenyataan tersebut. Karena secara otomatis istri dianggap tidak mampu secara finansial.
Berbeda jika istri memiliki keleluasaan secara finansial dan hendak berangkat haji menggunakan ongkos sendiri, maka secara otomatis dirinya dianggap mampu dan malah wajib berangkat haji.
Bagi pihak istri, juga harus memperhatikan kemampuan finansial suami. Bila suami membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal dan obat-obatan yang bersifat kebutuhan primer, maka istri tidak wajib berangkat haji.
Sampai pada kondisi di mana seorang suami dikatakan mampu secara finansial untuk memenuhi kebutuhan primernya, dan masih memiliki simpanan uang lebih, maka wajib menunaikan ibadah haji.
Perlu dicatat bahwa kewajiban haji tidak harus dilaksanakan seketika, ini merujuk pada pendapat umum para ulama fikih. Dengan begitu, jika terhalang menunaikannya pada tahun ini, masih dapat ditunaikan pada tahun-tahun berikutnya.