Dua kota suci, Makkah dan Madinah, menjadi magnet bagi jutaan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Terlebih, pada Ramadhan dan musim haji. Arab Saudi selaku tuan rumah pun diuntungkan oleh kedatangan mereka di dua kota tersebut.
Omzet para pedagang setempat melejit karena para jamaah berbelanja pelbagai keperluan atau sekadar oleh-oleh. Ketua Komite Pariwisata dan Hotel pada Kamar Dagang dan Industri Makkah, Aziz Awliyaa, mengungkapkan, saat ini sudah lebih dari enam juta visa umrah diterbitkan otoritas Saudi.
Menurut dia, naiknya permintaan masih perlu distimulus dengan penawaran pelbagai produk yang mencirikan Arab Saudi dan dua kota suci. Dengan demikian, para pedagang tak sekadar menyediakan barang-barang kebutuhan, tetapi juga memperkenalkan budaya Arab Saudi kepada para jamaah.
Dilansir Arab News, Aziz menunjukkan data negara mana saja yang jamaahnya selama di Tanah Suci gemar berbelanja. Mesir ternyata menempati urutan teratas.
“Jamaah asal Mesir menempati urutan teratas dalam daftar pengeluaran. Itu diikuti Irak, Aljazair, dan Turki,” ujar Aziz Awliyaa, Kamis (16/5).
Menurut perhitungannya, rata-rata seorang jamaah menghabiskan 700 hingga 1.000 dolar Amerika Serikat (sekira Rp 10-14 juta) selama periode 10 hari, yakni lima hari di Madinah dan lima hari sisanya di Makkah.
Adapun tiap jamaah dari negara-negara yang berbeda menghabiskan waktu berlanan pula di Arab Saudi. Misalnya, jamaah asal India, Pakistan, dan Bangladesh. Mereka rata-rata tinggal selama 30 hari di Tanah Suci. Sementara, jamaah asal Mesir cenderung mematok durasi tinggalnya di Tanah Suci selama 20 hari.
Data dari Kementerian Haji yang dirilis awal bulan ini menunjukkan, jumlah jamaah terbesar berasal dari Pakistan (1.353.625), diikuti Indonesia (881.459), India (579.443), Mesir (405.750), dan Turki (279.038).
Salah satu cara meningkatkan kenyamanan belanja para jamaah ialah menjadikan gerai-gerai makanan dan minuman kian variatif. Artinya, tiap jamaah dapat menjumpai dengan mudah makanan khas negara masing-masing di Tanah Suci.
Dengan begitu, keberadaan restoran asing di Makkah dan Madinah sudah menjadi kebutuhan. Hal itu diyakini juga merangsang sektor perhotelan serta mendukung keberagaman lebih dari 150 negara di Tanah Suci.
Apalagi, jelas dia, pada faktanya daya beli jamaah di Tanah Suci tak dipengaruhi situasi ekonomi negara asal mereka masing-masing. “Jamaah ingin membeli barang-barang yang tidak mereka temukan di negara asalnya. Itu mendorong supaya ada diversifikasi pasar (di Tanah Suci), sehingga mereka dapat memenuhi berbagai kebutuhan,” jelasnya.