Tarif pesawat domestik yang melambung tinggi menjadi masalah di berbagai wilayah Indonesia. Padahal Indonesia Timur menggantungkan konektivitas melalui penerbangan.
Indonesia memiliki sejumlah wilayah yang harus tersambung dengan penerbangan. Sebagai negara kepulauan, jalur darat tidak bisa menjadi patokan utama. Penerbangan pun sangat dibutuhkan, khususnya di bagian Indonesia Timur.
Penerbangan di Indonesia Timur umumnya menggunakan pesawat kecil atau baling-baling. Menurut Anggota Ombudsman RI dan pakar penerbangan Alvin Lie, jenis penerbangan menggunakan pesawat inilah yang juga harus dijadikan konsentrasi agar aksesnya lebih mudah. Ia menganggap, di momen tiket pesawat mahal ini, sejumlah pihak berkonsentrasi ke berbagai wilayah besar.
“Yang baling-baling sama sekali nggak disentuh. Padahal yang baling-baling ini yang lebih membutuhkan. Cost per seat baling-baling lebih mahal. Kurang ada keadilan kenapa yang diurusin yang jet saja. Di sisi lain ada daerah yang menggantungkan transportasi,” ujarnya saat di Hotel Millenium, Rabu (19/6/2019).
Alvin menambahkan, bahwa rute di Timur Indonesia yang menggunakan pesawat perintis pun disubsidi negara namun ikut terkena imbas. Padahal, masyarakat di wilayah tersebut banyak menggantungkan kehidupan dengan akses penerbangan.
Hal ini pun dibenarkan oleh Nur Isnin Istiartono, Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub RI. Bahwa penerbangan perintis disubsidi oleh negara. Namun, hal ini harus dikaji ulang karena melibatkan banyak aspek untuk menyesuaikan tarifnya. Tidak hanya rute-rute yang kota besar, ada rute hub, periskop, perintis.
“Kalau rute perintis subsidi pemerintah. Tapi propeler ada banyak hal yang bisa diperbuat dan yakin, termasuk ada insentif. Ada juga kompetisi, lisensi. Kalau kita bicara tarif, tarif itu tidak lepas dari operation. Biaya produksi airlines melibatkan banyak aspek,” paparnya.
Selain itu, menurut pakar penerbangan Ziva Narendra, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar penerbangan ke Indonesia Timur lebih murah dan memiliki penunjang yang tepat. Seperti kondisi bandara yang dapat melakukan penerbangan lebih nyaman kepada penumpang.
“Ketersediaan schedule (jadwal), ketersediaan pesawat, kalau di timur itu justru malah maskapai berjadwal dan charter itu saling bergandengan tangan. Karena banyak sekali bandara di Papua itu landasannya pendek, airportnya kecil, yang dilakukan oleh penerbangan perintis seperti Susi Air dan Trigana, dan itu yang masuk ke kampung-kampung,” ujar Ziva.
Tambah Ziva, frekuensi penerbangan pun juga harus diperhatikan. Hal ini dilakukan untuk menunjang kebutuhan masyarakat sekitar agar terlaksana dengan baik, begitu pula dengan tarif yang dapat disesuaikan nantinya.
Dengan frekuensi penerbangan yang lebih sering, harga bisa lebih terkontrol. Kadang di suatu kabupaten mau pindah saja butuh penerbangan cuma sekali dan orang mengantre.
“Dan itu kebutuhan mereka jualan, pengusaha daerah, urusan logistik dan nyata. Namun karena permintaan tinggi dan layanannya sedikit, harga jadi tinggi,” imbuhnya.