Ibadah haji bisa menjadi laboraturium ibadah. Sekaligus, bisa menguji moderasi kita dalam beragama.
“Ibadah haji ini laboraturium ibadah karena menjadi tempat berkumpulnya jamaah haji. Bukan hanya Indonesiasaja tapi muslim dari negara-negara lain,” kata Pengendali Teknis Bimbingan Ibadah PPIH Arab Saudi, Oman Fathurahman, Kamis (18/7).
Menurut Oman, haji bisa menguji sejauh mana umat Islam menerima keragaman. Jika memahami keragaman itu, maka jamaah tersebut sudah menerapkan sikap moderat dalam beragama.
“Moderat itu maksudnya kita meyakini cara ibadah kita tetapi kita menghargai orang lain (yang berbeda),” kata Oman.
Menurut Oman, secara normatif, umat Islam di manapun akan sama. Misalnya, soal rukun iman atau rukun Islam.
Tetapi, secara empirik, akan berbeda ekspresinya. “Misal, di NU ada konsep Islam Nusantara atau di Muhammadiyah ada Islam yang berkemajuan. Ini yang disebut berbeda ekspresinya,” kata Oman.
Oman juga menyebut contoh lainnya, seperti misalnya di Afrika. “Dan, saya kira jamaah haji sebelum berangkat juga melakukan walimatus safar tetapi bentuknya yang berbeda,” kata Oman.
Menurut Oman, jika umat Islam hanya memahami cara beragama secara harfiah atau kontekstual saja, maka umat akan mudah menilai suatu perbuatan itu menyimpang. “Kita lihat di Makkah saja. Cara shalatnya ada yang berda. Atau kalau dalam manasik haji. Di Indonesia diajari wanita tak boleh memakai penutup wajah dan telapak tangan saat ihram tapi di negara lain justru memakai cadar,” kata Oman.
“Makanya, haji adalah laboraturium agar kita bisa melaksanakan moderasi dalam beragama,” kata Oman.