Butir-Butir Perjanjian Hudaibiyah

Bagikan

Pada abad ke-6 Hijriyah, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak semua sahabatnya untuk melaksanakan umrah di Mekah. Setelah persiapan dirasa beres Nabi Muhammad Shallallahu’ alaihi wa sallam dan sahabatnya berangkat menuju ke Mekah pada hari Senin awal bulan Dzulqa’dah. Mereka tidak membawa senjata, jikapun bawa tidak diperlihatkan, karena sesuai ajakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka ke Mekah untuk ibadah, bukan untuk berperang.

Namun, sesampainya Hudaibiyah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rombongan dihadang kelompok musyrik Quraisy, sebuah wilayah yang terletak 20 kilometer dari Mekah. Mereka bertanya perihal maksud dan tujuan Nabi Muhammad saw. dan umatnya datang ke Makkah. Nabi Muhammad Shallallahu’ alaihi wa sallam menjawab dan meyakinkan bahwa tujuan mereka adalah untuk beribadah, bukan berperang.

Tokoh Mekah tidak langsung percaya dengan hal tersebut. Kemudian dikirimlah utusan untuk mengecek kebenarannya. Sama halnya dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengutus sahabatnya untuk meyakinkan para pemuka Mekah.

Padahal kedua belah pihak beberapa kali melakukan diplomasi, namun gagal. Hingga akhirnya pemuka Mekah mengirim Suhail bin Amr dan Mukriz dengan mandat penuh. Keduanya boleh membuat kesepakatan apapun dengan umat Islam, namun ada satu hal yang tidak boleh diabaikan, yaitu Nabi Muhammad saw. dan rombongan umat Islam tidak boleh masuk Mekah.

Setelah melakukan diskusi dan perundingan yang alot, kedua belah pihak akhirnya setuju untuk membuat kesepakatan bersama. Sebuah perjanjian yang disebut Shulhul Hudaibiyah (Perjanjian Hudaibiyah). Mengutip buku Membaca Sirah Nabi Muhammad saw. dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (M Quraish Shihab, 2018), ada lima butir Perjanjian Hudaibiyah. Berikut poin-poinnya:

Pertama, gencatan senjata selama 10 tahun. Tiada permusuhan dan tindakan buruk terhadap masing-masing dari kedua belah pihak selama masa tersebut.

Kedua, siapa yang datang dari kaum musyrik kepada Nabi, tanpa izin keluarganya, harus dikembalikan ke Makkah, tetapi bila ada di antara kaum Muslim yang berbalik dan mendatangi kaum Musyrik, maka ia tidak akan dikembalikan.

Ketiga, diperkenankan siapa saja di antara suku-suku Arab untuk mengikat perjanjian damai dan menggabungkan diri kepada salah satu dari kedua pihak. Ketika itu, suku Khuza’ah menjalin kerja sama dan mengikat perjanjian pertahanan bersama dengan Nabi Muhammad saw. dan Bani Bakar memihak kaum musyrik.

Keempat, tahun ini Nabi Muhamamad saw. dan rombongan belum diperkenankan memasuki Mekah, tetapi tahun depan dan dengan syarat hanya bermukim tiga hari tanpa membawa senjata kecuali pedang yang tidak dihunus.

Kelima, perjanjian ini diikat atas dasar ketulusan dan kesediaan penuh untuk melaksanakannya, tanpa penipuan atau penyelewengan.

Perjanjian tersebut juga disaksikan kedua belah pihak. Adapun Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, Sayyidina Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Muhammad bin Salamah, dan Abdurrahman bin Suhail. Sayyidina Ali bin Abi Thalib ada di pihak muslim dan bertugas sebagai sekretaris. Sementara di pihak kaum musyrik ada Suhail bin Amr dan Mikraz bin Hafzh.

Beberapa sahabat, termasuk Sayyidina Umar bin Khattab dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib keberatan dengan isi perjanjian tersebut, terkhusus pada butir kedua dan keempat. Namun setelah menerima penjelasan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya mereka menerimanya meski dengan hati yang berat.

Nabi Muhammad Shallallahu’ alaihi wa sallam dan rombongan umat Islam kemudian kembali ke Madinah setelah 19 atau 20 hari berada di Hudaibiyah. Sebelum balik ke Madinah, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan semua umat Islam yang ada dalam rombongan berihram dan bertakhallul (mencukur rambut). Kemudian dilanjutkan dengan menyembelih unta. Diriwayatkan, ada 70 ekor unta yang disembelih pada saat itu.