Pada masa kekhalifahan Umar bin Khatthab terjadi peperangan di kawasan Syam Raya yang terdiri dari kawasan Syiria sekarang, yang meliputi seluruh kawasan Pantai Timur Laut Tengah, Irak, Persia (Iran) dan Mesir.
Dalam peperangan ini, kaum muslimin berhasil meraih kemenangan yang besar. Banyak tanah hasil rampasan dikuasai oleh kaum muslimin. Hal yang unik terjadi, bahkan dijelaskan dalam Manâqib Amir al-Mu’minîn Umar ibn Khattab karya Ibnu Jauzi, Khalifah II Umar bin Khatthab tidak membagi-bagikan tanah hasil rampasan tersebut kepada tentara perangnya.
Beliau mengambil kebijakan lain, yaitu membagi-bagikan kembali tanah tersebut kepada penduduk setempat lalu menerapkan kebijakan jizyah (pajak) dan kharraj (cukai). Harta rampasan perang juga tidak dibagikan langsung kepada kaum muslimin dan tentara perang, melainkan dimasukkan ke Baitu al-Mâl.
Karena tindakanmya ini merupakan hal yang belum pernah dilakukan di masa kenabian, baru mulailah muncul konflik di tubuh kekhalifahan. Ada pihak yang setuju namun ada juga yang kontra. Menurut catatan sejarah, sahabat Abdurrahmman bin Auf dan Bilal bin Rabah adalah yang termasuk menentang kebijakan itu. Keduanya berpegang teguh pada teks literal lahir yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan berdasarkan sejarah perang Khaybar di masa Nabi.
Sementara Umar lebih memilih kepada semangat dari syariat. Jadi, terdapat perbedaan di antara keduanya. Yang menarik adalah Sahabat Utsmân dan Ali, keduanya menyetujui tindakan Umar tersebut.
Sebetulnya, dasar khalifah saat itu dalam menerapkan kebijakan tersebut berpaku pada pertimbangan kemaslahatan. Adapun kepentingan umum yang lebih besar (maslahah mu’tabarah/maslahah ‘ammah) yang harus dijaga. Beberapa pokok persoalan yang menjadi dasar pertimbangan adalah:
1. Untuk menghindari timbulnya tuan tanah yang baru di kalangan Muslim. Kekhawatiran khalifah adalah banyak dari tentara muslim ini berubah niat dalam melakukan perang, yaitu dari asalnya menegakkan kalimat Allah al-ulyâ, menjadi karena faktor keduniaan, seperti karena mencari harta rampasan, dan lain sebagainya.
2. Untuk menghindari terjadinya konflik dan perlawanan dari pribumi yang berhasil dikuasai, sehingga mengesankan bahwa agama Islam adalah agama penjajah.
3. Menghindari efek politis dari kalangan yang berseberangan dan muncul dari kaum akar rumput (grassroot). Pertikaian yang terjadi antara kedua kubu Umar dan kubu Bilal ini terjadi selama beberapa waktu lamanya, meski pada akhirnya kubu Umar yang tampil mendominasi.
Kedua kubu mengeluarkan segenap argumennya berdasarkan Al-Qur’an dan al-Sunnah guna mempertahankan pendapat masing-masing. Mengapa al-Sunnah? Karena pada waktu itu, belum dilakukan kodifikasi dan penulisan hadits. Jadi, segala sesuatu didasarkan pada kekuatan hafalan masing-masing sahabat.
Meski dalam banyak hal, Khalifah Umar memang banyak melakukan inovasi kebijakan. Beliau juga dikenal sebagai tokoh yang bijaksana, jenius dan agresif. Namun, karena kejeniusannya ini, ia dikenal sebagai tokoh kontroversial di masanya. Karena kontroversi ini pula, kelompok Syiah ekstrem (ghullat) hingga sekarang masih tidak mau mengakui keabsahan kekhalifahan Umar ini. Bahkan kalangan moderatnya pun juga masih menganggap Umar sebagai telah berlaku menyimpang keluar dari rel yang sudah digariskan oleh Nabi. Sebagai contoh adalah kasus pelarangan nikah mut’ah.
Menurut ulama kalangan Syi’ah, seperti al-Husein al-Kasyf al-Ghithâ’, pelarangan mut’ah oleh Umar ini dianggap sebagai yang betul-betul telah menyimpang dari syariat. Barangkali, Umar sudah dicap sebagai yang sesat karena pelarangannya itu. Contoh tokoh yang senada dengan al-Husein al-Kasyf al-Ghithâ adalah Al-Bahi al-Khuly. Itulah sebabnya, menurut al-Raisûnî, kebijakan Umar ini menjadi tidak banyak dikembangkan oleh para ulama pasca-khulafâ râsyidûn. Al-Raisuny menyebutkan dalam karyanya yang berjudul Nadhâriyyah halaman 71, bahwa para ulama pasca-khulafâ râsyidûn menafikan kebijakan tersebut sebagai bagian dari hujjah maslahah mereka.
Meski penafian ini tidak serta merta seratus persen, di satu sisi mereka menolak namun di sisi lain mereka masih menggunakan istilah-istilah yang menyerupai apa yang diterapkan oleh Umar. Hal ini tergambar dari istilah-istilah yang acapkali dipakai untuk menetapkan maslahah mursalah ini.
Misalnya penggunaan istilah illah, hikmah, ghardl, atau maqshûd pada saat hendak menetapkan hukum. al-Baqilâny dan Ibnu al-Hajîb dari kalangan mazhab Mâliki juga menerapkan kaidah yang sama dengan beberapa istilah terakhir.
Adapun satu mazhab yang secara terang-terangan menolak terhadap istilah maqâshid syarîah. Mazhab ini dikembangkan oleh Daud al-Dhâhiry.
Oleh karena itu, sesuai dengan tokohnya, mazhabnya pun disebut dengan mazhab al-dhahiry. Mereka berpendapat bahwa teks nash Al-Qur’an dan al-Hadîts adalah terlalu khusus apabila dikaitkan dengan fakta kontekstual lapangan yang dipandangnya terlalu umum.
Jadi, sifat keumuman lapangan harus dibatasi oleh teks. Semangat mazhab ini pada dasarnya adalah benar, namun berbahaya karena akan condong pada pergolakan tanpa henti. Penyebabnya, karena masing-masing pihak bisa mengaku sebagai yang berhak menghakimi. Dan hal inilah yang hendak dihindari oleh syariat kita.