Masyarakat Arab kita ketahui sangat dekat dengan dunia bisnis atau perdagangan. Sebelum Islam hadir, biasanya bangsa Arab menopang hidupnya dengan melakukan jual beli. Pasalnya, mereka tak memiliki sumber daya alam yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Melihat sebagian besar tanah Arab merupakan kawasan tandus dan gersang. Mereka tidak bisa mengelola pertanian, kecuali di beberapa kawasan kecil yang lahannya subur. Meski dipenuhi padang pasir, lokasinya sangat strategis di tengah-tengah belahan dunia.
Di sanalah pertemuan jalur perdagangan dunia antara Timur Jauh dan Barat. Di darat, jalur perdagangan dari India melalui Asia Tengah kemudian ke Iran, Irak, dan Laut Tengah. Begitu pun jalur laut, melalui teluk Arab dan sekitar jazirah ke Laut Merah. Jadi tak heran jika kemudian perdagangan menjadi andalan perekonomian bangsa Arab.
Dalam surat al-Quraisy Allah mencontohkan dari kaum Quraisy yang telah mampu menjadi pemain global dengan segala keterbatasan sumber daya alam di negeri mereka.
Allah berfirman, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. (Yaitu) kebiasaan melakukan perjalan dagang pada musim dingin dan musim panas.”
Para ahli tafsir, baik klasik, seperti al-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari, maupun kontemporer, seperti, al-Maraghi, az-Zuhaily, dan Sayyid Qutb, sepakat perjalanan dagang musim dingin dilakukan ke utara, seperti Syria, Turki, Bulgaria, Yunani, dan sebagian Eropa Timur. Sementara, perjalanan musim panas dilakukan ke selatan, seputar Yaman, Oman, atau bekerja sama dengan para pedagang Cina dan India yang singgah di pelabuhan internasional Aden.
Dalam History of the Arabs, Phillip K Hitti menyebut, bangsa Arab sebagai pelaku hubungan internasional paling awal. Menurutnya, kawasan semenanjung Arab telah dikenal baik bangsa Yunani dan Romawi karena lokasinya berada di jalur perdagangan mereka menuju India dan Cina. Penduduk Semenanjung Arab merupakan para pedagang perantara di laut-laut selatan, seperti halnya bangsa mediterania.
Pasalnya lokasi yang strategis inilah penguasa dunia, Romawi selalu mempunya keinginan mengekspansi tanah Arab. Tujuannya adalah untuk menguasai rute perjalanan dagang yang dimonopoli bangsa Arab. Tapi, mereka tak pernah mampu menguasai orang-orang Arab.
Mukhtar Yahya dalam bukunya Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Lahir Agama Islam menyebutkan, begitu banyak bangsa Arab kuno yang menguasai jalur perdagangan internasional. Di antaranya, Tadmur, Saba’, Nabath, Himyar, dan sebagainya.
Contohnya, orang Tadmur di Syam. Mereka terkenal sebagai penguasa perniagaan internasional. Yahya pun mengatakan, di Kota Tadmur ini bertemu perdagangan dari Timur ke Barat, yakni dari Eropa menuju Mesopotamia. Begitu pun, perdagangan dari Selatan ke Utara, yakni pedagang bangsa Timur (Cina, India), menuju Barat (Eropa) melalui Yaman.
“Maka perdagangan internasional ini kesemuanya bertemu di Tadmur. Dengan perkataan lain, jadilah Kota Tadmur “Mutiara Padang Pasir” itu sebuah kota tempat bertemunya kafilah-kafilah perniagaan yang datang dari empat penjuru dunia yang terkenal di masa itu, pulang pergi,” kata Yahya.
Baik Makkah ataupun Madinah, keduanya menjadi kota perdagangan yang makmur. Keduanya merupakan jalur perdagangan rempah-rempah dari selatan ke utara. Bahkan, Hitti menuturkan, jauh sebelum dilintasi “jalur rempah-rempah”, Makkah telah lama menjadi tempat persinggahan perjalanan dagang dari Ma’rib ke Gaza. Masyarakat Makkah yang progresif dan memiliki naluri dagang berhasil mengubah kota tersebut menjadi pusat kemakmuran. Kemakmuran tersebut terjadi, terutama saat Makkah dipimpin Kabilah Quraisy, nenek moyang Rasulullah.
Sama halnya dengan Madinah. Yatsrib, nama kuno Madinah, merupakan kota penghubung jalur perdagangan antara Yaman dan Suriah. Suburnya pohon kurma yang tumbuh di sana membuat kota tersebut makin ternama.