Pesan Antikolonialisme dari Museum Multatuli

Pesan Antikolonialisme dari Museum Multatuli

Bagikan

Oleh: Muhamad Faisal Al’ansori

Matahari semakin condong ke ufuk barat ketika saya tiba di Stasiun Rangkasbitung, Lebak, Banten pada awal Juni 2018.

Saya berlomba dengan waktu ketika hendak menuju sebuah museum yang baru saja diresmikan 4 bulan sebelumnya.

Akhirnya, saya tiba di lokasi jam 15an atau satu jam sebelum museum ditutup. Perkenalkan, Museum Multatuli: museum antikolonial pertama di Indonesia.

Museum Multatuli diresmikan oleh Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Hilmar Farid pada Minggu, 11 Februari 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten.

Pesan Antikolonialisme dari Museum Multatuli

Saat memasuki ruangan utama museum, desain WPAP wajah Eduard Douwes Dekker dengan sorot mata tajam menempel di sebuah dinding.

Di sebelah atasnya terdapat kutipan kalimat magis Multatuli, “Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia.”

Ya, kalimat tersebut merupakan ucapan selamat datang dari Eduard Douwes Dekker alias Multatuli bagi pengunjung yang ingin bernostalgia dengan bumi Nusantara abad 19.

Ketika menyusuri bagian dalam museum, kerumunan bocah terlihat di salah satu sudut ruangan sembari cekikikan.

Ternyata mereka tengah sibuk dengan game di HP. Di area Museum Multatuli memang terdapat jaringan wifi gratis. Sangat disayangkan, ketika para generasi penerus bangsa itu datang ke Museum Multatuli hanya untuk ‘mengotori’ tempat sakral ini.

Pesan Antikolonialisme dari Museum Multatuli

Kerumunan bocah di dalam ruangan Museum Multatuli bak potret kondisi potensi wisata museum di negeri ini.

Kepedulian terhadap museum sepertinya masih rendah. Destinasi wisata museum saya kira belum mendapatkan tempat prioritas di mata para pelancong.

Barangkali citra kuno, gelap, tidak instragramable, atau membosankan masih melekat pada museum.

Destinasi wisata berbasiskan alam seperti laut, danau, hutan, atau gunung masih menjadi primadona wisatawan.

Saya ditemani oleh eduktor Museum Multatuli. Museum Multatuli memiliki tujuh ruang pamer. Setiap ruangan mewakili periode di dalam sejarah kolonialisme.

Agar tidak kaku, penyampaian informasi di Museum Multatuli sudah menggunakan perangkat multimedia, baik dalam bentuk podcast maupun video yang diputar pada layar monitor.

Pesan Antikolonialisme dari Museum Multatuli

Kemudian ada juga benda bersejarah. Dikutip dari historia.id (14 Februari 2018), salah satu benda bersejarah yaitu ubin rumah asisten residen Lebak yang juga pernah ditempati Eduard Douwes Dekker yang bertugas sejak 22 Januari sampai dengan April 1856. Ubin ini, bersama dengan satu ubin lain yang berwarna hitam, sempat berada di Belanda.

Masih berdasarkan tulisan historia.id, pada 1987 Arjan Onderdenwijngard, seorang jurufoto dan wartawan Belanda, datang ke Rangkasbitung untuk perjalanan jurnalistik menelusuri jejak Multatuli.

Dia menemukan dua ubin itu tak jauh dari reruntuhan rumah Multatuli dan menyelamatkannya ke Belanda.

Pada 2016, Multatuli Genootschap menyerahkan ubin ini kepada Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dalam sebuah perhelatan di Amsterdam, Belanda.

Sedangkan satu ubin berwarna hitam kini tersimpan di Multatuli Huis, Amsterdam. Selain ubin, ada koin kuno dari tahun 1857 dan alat giling kopi kuno.

Ada juga surat yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker kepada Raja Willem III. Isinya yaitu berupa protes mengenai kondisi tanah jajahan Hindia Belanda.

Eduard memohon kepada Raja Willem III agar lebih memperhatikan Hindia Belanda karena ada ketidakadilan di tanah jajahan ini.

Di halaman Museum Multatuli berdiri patung Eduard Douwes Dekker sedang membaca buku, Saidjah, dan Adinda.

Siapa Saidjah dan Adinda? Silakan baca novel Max Havelaar. Patung tersebut karya pematung Dolorosa Sinaga. Pengunjung bisa berinteaksi di dekat patung.

Muasal nama Multatuli

Pesan Antikolonialisme dari Museum Multatuli

Jika ingin berkunjung ke Museum Multatuli, Anda dapat menaiki KRL relasi Stasiun Tanah Abang – Stasiun Rangkasbitung.

Ongkos KRL sekitar Rp. 10.000. Waktu tempuh kira-kira 2 jam. Selanjutnya, setelah keluar dari area Stasiun Rangkasbitung, Anda bisa melanjutkan perjalanan menggunakan ojek motor, becak, atau angkot. Kalau saya biasa berjalan kaki karena jaraknya hanya 1,3 km.

Keberadaan Museum Multatuli memperkaya khazanah wisata museum di Indonesia.

Nilai edukasi Museum Multatuli berbeda dari museum lainnya yang sudah ada, yakni menawarkan semangat antikolonialisme.

Memasuki Museum Multatuli tidak dipungut biaya sepeser pun. Pegunjung hanya mengisi buku daftar hadir.

Multatuli merupakan nama pena Eduard Douwes Dekker ketika menulis novel berjudul Max Havelaar.

Max Havelaar menceritakan pengalaman Eduard Douwes Dekker ketika berada di Nusantara pada abad ke-19. Multatuli berarti aku menderita.

Ia juga sempat menjabat sebagi asisten residen Lebak. Nuraninya terusik ketika menyaksikan pemerintah Belanda dan para elit bumiputra mengeruk hasil bumi dengan melibatkan rakyat jelata melalui sistem tanam paksa.

Air mata rakyat jelata banyak bercucuran karena kebijakan ini. Tenaga mereka diperas guna mendongkrak pundi-pundi gulden.

Kekayaan mengalir ke Eropa barat sana. Sebagian kecil masuk ke kantong pejabat bumiputra untuk memperkaya diri. Kolonialisme hanya membuat rakyat jelata mendapatkan kesengsaraan.

Sebagai imbalan dari kebijakan tersebut, Belanda menerapkan politik etis dengan mendidik kalangan elit bumiputra.

Max Havelaar terbit pada 1860. Kemunculannya menggemparkan Belanda. Bahkan, Pramoedya Ananta Toer menilai bahwa Max Havelaar merupakan sebuah kisah yang membunuh kolonialisme.

Reformasi pendidikan di kalangan elit bumiputra pada akhirnya memunculkan pergerakan nasional dan mengakhiri kolonialisme Belanda di Nusantara, serta memantik gerakan antikolonial serupa di Afrika.

Max Havelaar membuka mata dunia bahwa sebuah bangsa dengan peradabannya yang maju ternyata memelihara praktik penindasan di tanah jajahannya.

85 tahun setelah terbitnya Max Havelaar atau pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan diri sebagi bangsa yang merdeka.

Ayo ke museum!

Pesan Antikolonialisme dari Museum Multatuli

Multatuli adalah martir kemanusiaan dan pejuang kesetaraan. Museum Multatuli merupakan kepingan sejarah bangsa ini, bahwa dahulu di tanah air pernah terjadi praktik kolonialisme yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Museum Multatuli menjadi pengingat kesadaran kolektif bahwa kolonialisme harus dienyahkan dari negeri ini.

Museum tidak hanya sekadar menyimpan berbagai arsip dan merawat ingatan masa lalu semata.

Museum mewariskan pelajaran dan nilai berharga tentang apa yang terjadi di masa lampau.

Museum bak cermin bagi bangsa ini, agar kelak para generasi penerus bangsa dapat melangkah ke depan dan tidak jatuh pada lubang kesengsaran yang sama.

Seperti yang dipesankan Bung Karno –presiden pertama negara ini–, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!” Ayo ke museum!