Rita Hayati (Jakarta)
Sebagai ibukota negara, Jakarta tentunya menawarkan berbagai macam sarana dan prasarana yang mendukung permintaan masyarakat yang tentunya mencerdaskan. Dalam tulisan ini, saya membahas tentang beberapa tempat di area kilometer 0 Jakarta secara umum dan Perpustakaan Nasional secara khusus.
Didirikan pada 17 Mei 1980 saat masih dibawah lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Perpustakaan Nasional atau disingkat Perpusnas yang semula bertempat di Jl. Salemba, dipindahkan ke gedung baru yakni tepat di sebelah kiri Balai Kota dan di seberang Kawasan Monas, di Jl. Medan Merdeka Selatan, yang diresmikan pada 14 September 2017 dan saat ini berada di bawah naungan Presiden. Perpustakaan baru ini terdiri dari 24 lantai dan 3 parkir bawah tanah di atas tanah seluas 16000 m2. Lantai yang paling menarik menurut saya adalah lantai 7, 16, dan 24. Lantai 7 adalah tujuan saya ketika membutuhkan ide dan hiburan. Saya memilih untuk berada di ruangan anak-anak karena selain cantik dan penuh warna, melihat pemandangan cara berkomunikasi antara anak dengan orangtua ataupun guru membuat saya semakin yakin bahwa tingkat literasi pada anak bisa ditingkatkan dengan adanya dukungan bacaan yang bervariasi, tempat yang nyaman, dan orang dewasa yang mendukung. Lantai 16 adalah destinasi saya jika ingin menyepi dengan tumpukan pekerjaan yang mendekati deadline karena selain dikelilingi oleh berbagai lukisan menarik, ruangan ini hanya terdiri dari tempat duduk yang terlihat monoton bagi orang yang kurang paham seni seperti saya tetapi sebenarnya memberi pengaruh besar bagi yang ingin konsentrasi dalam menyelesaikan tugas. Sementara lantai 24 adalah ketika saya ingin menyuntik otak saya dengan berbagai informasi sejarah baik berupa fiksi maupun non-fiksi. Selain itu, ada yang sangat menarik di lantai ini, yakni karena merupakan lantai teratas, disediakan lounge dengan berbagai tempat duduk nyaman dan juga balkon outdoor yang merupakan target bagi para pemburu fotografi dengan latar belakang Monas dan gedung-gedung pencakar langit.
Saya biasanya sampai di area perpustakaan sekitar jam buka, yakni jam 9 pagi. Lalu sekitar jam 2, saya akan menuju Halte Balai Kota di seberang Perpusnas untuk naik Bis Pariwisata dua tingkat yang nyaman dan ditawarkan gratis dengan tujuan Kalijodo, Kota Tua, maupun Senayan dan akan kembali lagi ke titik awal, yakni Balai Kota atau Monas. Tetapi jika saya akan menuju ke Sarinah, saya cukup menaiki bis Trans gratis yang melayani rute Harmoni – Bundaran Senayan dari halte Perpusnas.
Sekembalinya, saya akan lanjut untuk menikmati kopi di Jl. Agus Salim atau yang lebih dikenal dengan Jl. Sabang. Jarak dari Perpusnas menuju Jl. Sabang hanya sekitar 500 meter berjalan kaki. Saya menikmati berjalan kaki di area ini karena selain didukung oleh trotoar yang luas juga pejalan kaki tidak akan merasakan kepanasan karena banyaknya pohon yang rindang. Jika lelah, pejalan kaki dimanjakan dengan beberapa kursi taman yang dipasang di sepanjang trotoar. Jl. Sabang menawarkan wisata kuliner yang seakan membawa kita pada masa lalu, karena beberapa tempat mempertahankan diorama dan makanan minuman tradisional dan jadul. Salah satu yang saya datangi adalah Café Kopitiam Oey milik almarhum Pak Bondan, pengisi acara kuliner yang terkenal dengan slogannya ‘Maknyus’. Menu yang pernah saya pesan adalah Koffie Taloea Boekittinggi, kopi dengan campuran telur dan jeruk nipis dengan rasa khas manis kecut dan Singkong Sambel Roa, dengan rasanya yang gurih dan pedas.
Sebenarnya, wisata pintar ini lebih asyik dilakukan pada setiap hari Minggu. Diawali dengan berjalan pagi di kawasan CFD (Car Free Day) Jl. Jend. Soedirman sampai Jl. M.H Thamrin sambil menikmati berbagai jajanan untuk sarapan sambil melakukan berbagai aktifitas seperti bersepeda, bersepatu roda, senam, bermain musik, atau hanya sekedar jogging. Sampai di sekitar Bank Indonesia, kita bisa memilih untuk melanjutkan wisata ke Monas dan atau Perpustakaan Nasional. Kegiatan ini terlihat mewah, namun jika kita benar-benar menjalaninya, justru sangat ekonomis. Biaya perjalanan hanya Rp. 7000 pp dengan menggunakan bis Trans Jakarta. Makan siang di kantin Perpusnas juga terjangkau, yakni hanya sekitar Rp. 15000 saja atau alternative lain bisa membawa bekal dari rumah dan bisa dinikmati di area lobi luar perpusnas yang memang menyediakan tempat duduk, tentunya dengan syarat ‘membuang sampah pada tempatnya’. Tertarik untuk melakukan wisata pintar ini?