Selain Komodo, masyarakat di TN Komodo juga memiliki budaya yang unik. Sayang, budayanya kian terlupakan.
Suku Komodo adalah suku asli yang hidup di Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Sebagian dari mereka kini menjual suvenir, menjadi pemandu wisata, atau menyediakan homestay. Untuk menggelar pertunjukan budaya Komodo, mereka jarang melakukannya.
Berjalan-jalan di perkampungan Pulau Komodo dan Pulau Rinca, banyak rumah panggung dari kayu yang berdiri, banyak pula rumah tembok yang berdiri. Ini adalah pemandangan umum di kawasan kepulauan. Lalu apa yang khas dari masyarakat Komodo selain dari reptilnya?
Saat tfanews.com bertanya ke Kepala Desa Komodo, Haji Aksan, dia menjelaskan masyarakat punya makanan hingga tari-tarian yang khas. Namun, hal-hal seperti itu sudah tidak mudah ditemui. Makanan khas orang Komodo adalah gebang, hasil olahan dari batang pohon gebang (Corypha utan), yakni pohon suku pinang-pinangan.
Pohon gebang yang siap dipanen dipotong, dibelah empat atau enam, dicincang, kemudian dijemur di bawah terik matahari. Setelah kering, cincangan pohon gebang itu akan ditumbuk dan diayak. Jadilah tepung gebang yang bakal diolah menjadi semacam roti. Rasanya manis tanpa gula.
“Makanan khas di sini gebang, tapi sudah tidak ada yang bikin karena repot,” kata Aksan.
Warga kini lebih memilih sajian yang praktis-praktis saja. Saya coba bertanya ke warga tentang keberadaan pohon gebang, ternyata pohon itu sudah langka di kawasan perkampungan.
Bila ingin menemukan pohon gebang, maka orang harus pergi ke kawasan Loh Liang, titik masuk wisatawan yang hendak melihat reptil komodo. Tentu saja pohon gebang di kawasan Taman Nasional tidak boleh ditebang.
Selain makanan, Suku Komodo punya upacara tradisional, namanya Kolo Kamba. Bentuknya adalah tarian simbolik yang menceritakan perjuangan hidup leluhur-leluhur zaman dulu.
Seorang pemimpin (Ompu Dato) akan mendirikan kayu sekitar semeter. Gendang dipukul, para laki-laki menari, bersilat, hingga memukuli batang kayu tadi dalam keadaan trans mirip pemain kuda lumping di Jawa. Batang kayu tadi dipukul karena menjadi simbol kejahatan. Atraksi budaya itu sebenarnya bisa menarik wisatawan.
“Atraksi Kolo Kamba terakhir dipentaskan tahun 2015 saat menyambut tamu-tamu asing. Sekarang mau diadakan tapi kurang sponsornya. Saya punya niat membangkitkan kembali permainan itu,” ujar Aksan.
Ada pula atraksi Aru Gele. Bentuknya adalah pertunjukan musikal. Sejarahnya, Aru Gele tercipta oleh masyarakat Komodo yang beraktivitas menumbuk gebang dicampur daging rusa, karena zaman dulu berburu rusa adalah bagian dari cara hidup Suku Komodo. Dari proses menumbuk gebang di sampan, tercipta bunyi-bunyi dan nyanyian. Pada perkembangan selanjutnya, Aru Gele terlupakan.
“Dulu waktu masih saya kecil, Aru Gele dan Kolo Kamba itu ada setahun dua kali. Sekarang, pelakunya sudah mencari nafkah sendiri-sendiri,” kata Aksan.
Aksan menyebut warga lebih berfokus untuk jualan suvenir ketimbang menghidupkan kesenian, kuliner, dan kekhasan adat. Padahal bila kekhasan ini hidup, Desa Komodo bakal lebih semarak oleh wisatawan.
Para turis tak hanya singgah di Loh Liang saja, tapi juga bakal ada yang lebih banyak menginap di homestay Desa Komodo hingga membelanjakan uangnya di perkampungan.
Aksan menyatakan, Desa Komodo mendapat dana desa Rp 770 juta tahun ini. Rencananya, bila sudah cair dana desa akan dialokasikan untuk membangun drainase dan pemberdayaan nelayan. Selain itu, geliat pariwisata di kawasan Desa akan coba ditingkatkan lewat dana desa.
“Akan dibuat tempat berdagang kuliner sampai malam hari, untuk mendukung wisatawan, rencanaya di dekat pelabuhan Kampung Komodo,” kata Aksan.