Bubur telah menjadi salah satu makanan populer di Indonesia yang sangat mudah ditemui. Bubur yang mulanya merupakan masakan Cina itu, kini telah mengalami perubahan budaya setelah masuk ke Indonesia.
Chef Haryo Pramoe menjelaskan, perkembangan bubur dimulai dari pesisir melalui jalur perdagangan. Bubur yang tadinya menggunakan daging babi diganti dengan ayam atau kaldu ikan karena adanya persilangan budaya.
“Tadinya yang menggunakan bubur babi, daging babi, atau dengkul bababi, karena persilagan budaya dan mualaf,” kata Haryo.
Geografi asal bubur ayam
Selanjutnya, variasi dan isi bubur juga bergantung pada geografi sebuah daerah. Haryo mencontohkan bubur yang berada di kawasan peternakan ayam, akan menjadi bubur ayam.
Kemudian, karena ditempat tersebut terdapat kunyit, kelapa maka bubur ayam dengan kaldu kuah kuning atau yg dikenal dengan bubur ayam Sukabumi. Bubur, lanjut Haryo, terus mengalami perkembangan.
“Ada satai usus sate ati ampala, itu karena adanya sesuatu yang ditemukan disana, kemudian telur puyuh, krena ada peternakan telur puyuh maka terjadilah bubur telur puyuh,” jelasnya.
Haryo menerangkan, sebutan untuk bubur, sebenarnya tergantung pada tujuan dan kepentingan suatu daerah atau negara. Karena, kuliner dapat menjual atau mempromosikan suatu daerah.
“Bubur itu adalah geopolitis, geografi dan politik. Bubur ayam adalah khas Betawi, atau khas Malaysia misalnya, boleh saja,” jelasnya.
Kunci kelezatan
Chef yang memiliki sertifikat Chef Halal Indonesia ini mengatakan kunci masakan ini terletak pada kaldu. Dia menjelaskan, kaldu yang tepat adalah dengan memperhatikan bahan-bahan.
“Dengan bahan garam, air jahe, minyak wijen dan kekentalan kaldunya,” katanya.
Haryo menambahkan, untuk memasaknya, masyarakat bisa berkiblat pada masakan yang sama di Kanton. Sebab, sajian tersebut telah ada sejak lama.
“Resepnya tua dan telah teruji oleh zaman,” jelasnya.