Matahari semakin condong ke ufuk barat ketika saya tiba di Stasiun Rangkasbitung, Lebak, Banten pada pertengahan Maret 2019. Saya berlomba dengan waktu ketika hendak menuju sebuah museum yang terletak tak jauh dari Alun-alun Rangkasbitung. Akhirnya, saya tiba di lokasi jam 15an atau satu jam sebelum museum ditutup.
Perkenalkan, Museum Multatuli: museum antikolonial pertama di Indonesia. Museum Multatuli diresmikan oleh Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Hilmar Farid pada Minggu, 11 Februari 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten.
Luas area Museum Multatuli 1.800 m2, termasuk bangunan perpustakaan Saidjah Adinda. Saat memasuki museum, desain WPAP wajah Multatuli dengan sorot mata tajam menempel di sebuah dinding. Di sebelah atasnya terdapat kutipan kalimat magis Multatuli, “Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia.” Ya, kalimat tersebut merupakan ucapan selamat datang dari Eduard Douwes Dekker alias Multatuli bagi pengunjung yang ingin bernostalgia dengan bumi Nusantara abad 19.
Jika dibedah, wujud Museum Multatuli terbagi menjadi empat tema besar yang terdiri dari tujuh ruangan. Pertama, tema mengenai sejarah kolonialisme di Nusantara. Di ruangan ini tidak hanya menampilkan sejarah kedatangan Belanda di Nusantara. Pengelola museum menghadirkan rempah seperti cengkeh, lada, pala, dan kayu manis. Tujuan utama Belanda datang ke Nusantara yaitu memburu rempah-rempah. Pengunjung diperbolehkan meraba dan menghirup aroma dari rempah-rempah tersebut.
Tema kedua menyinggung Multatuli beserta karyanya. Beberapa karyanya yaitu novel Max Havelaar terbitan tahun 1876 berbahasa Perancis. Karya Max Havelaar telah diterjemahkan ke 46 bahasa di dunia. Ada juga catatan lengkap Multatuli sebanyak 25 jilid.
Kemudian, ada mikrofilm surat Multatuli yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dalam surat ini, Eduard Douwes Dekker memohon agar Raja Willem III memberikan perhatian lebih kepada Hindia Belanda yang dikelola sembarangan dan banyak merugikan rakyat.
Benda bersejarah lainnya yaitu keberadaan ubin asli dari rumah dinas Asisten Residen Lebak di Rangkasbitung. Ubin ini, bersama dengan satu ubin lain yang berwarna hitam, sempat berada di Belanda. Pada 1987 Arjan Onderdenwijngard, seorang jurufoto dan wartawan Belanda, datang ke Rangkasbitung untuk perjalanan jurnalistik menelusuri jejak Multatuli. Dia menemukan dua ubin itu tak jauh dari reruntuhan rumah Multatuli dan menyelamatkannya ke Belanda.
Pada 2016, Multatuli Genootschap menyerahkan ubin ini kepada Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dalam sebuah perhelatan di Amsterdam, Belanda. Sedangkan satu ubin berwarna hitam kini tersimpan di Multatuli Huis, Amsterdam.
Selanjutnya tema tentang sejarah pemberontakan di Banten dan sejarah Kabupaten Lebak. Kolonialisme di tanah Banten memunculkan pemberontakan di beberapa daerah. Salah satunya pemberontakan Nyimas Gamparan. Ia memimpin 30 milisi perempuan melawan Belanda sejak 1829-1830an. Nyimas Gamparan menolak sistem tanam paksa. Ia menggelorakan perang melawan pemerintah kolonial Belanda di Jasinga, Cikande, dan Balaraja.
Keempat atau tema terakhir tentang Rangkasbitung masa kini. Di salah satu ruangan museum terdapat tokoh yang lahir dan besar atau terinspirasi dari Multatuli atau Rangkasbitung. Salah satu contohnya yaitu sajak W.S. Rendra berjudul Demi Orang-orang Rangskasbitung.
Konten Museum Multatuli tidak hanya menyajikan gambar bercerita. Agar lebih interaktif, penyampaian informasi di Museum Multatuli menggunakan perangkat multimedia, baik dalam bentuk podcast maupun video yang diputar pada layar monitor.
Di sudut halaman museum terdapat patung Multatuli sedang membaca buku, Saidjah, dan Adinda. Siapa Saidjah dan Adinda? Anda dapat menemukannya di novel Max Havelaar. Patung tersebut karya pematung Dolorosa Sinaga. Pengunjung bisa berinteraksi di dekat patung.
Muasal nama Multatuli
Jika ingin berkunjung ke Museum Multatuli, Anda dapat menaiki kereta komuter relasi Stasiun Tanah Abang – Stasiun Rangkasbitung. Ongkos kereta komuter sekitar Rp. 10.000. Waktu tempuh kira-kira 2 jam. Selanjutnya, setelah keluar dari area Stasiun Rangkasbitung, Anda bisa melanjutkan perjalanan menuju Museum Multatuli menggunakan ojek motor, becak, atau angkot. Kalau saya biasa berjalan kaki karena jaraknya hanya 1,3 km.
Multatuli merupakan nama pena Eduard Douwes Dekker ketika menulis novel berjudul Max Havelaar. Max Havelaar menceritakan pengalaman Eduard Douwes Dekker ketika berada di Nusantara pada abad ke-19. Multatuli berarti aku menderita. Eduard Douwes Dekker lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 dan meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 (sumber: wikipedia).
Eduard Douwes Dekker sempat menjabat sebagai Asisten Residen Lebak, Banten. Nuraninya terusik ketika menyaksikan pemerintah Belanda dan para elit bumiputra memperlakukan rakyat Hindia Belanda secara sewenang-wenang untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Mereka menerapkan sistem kerja paksa, sehingga rakyat jelata harus menanggung penderitaan.
Max Havelaar terbit pada 1860. Kemunculannya menggemparkan Belanda. Guna menebus ‘hutang’ kesewenang-wenangan itu, pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik etis dengan mendidik kalangan elit bumiputra.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terkemuka Indonesia menilai bahwa Max Havelaar merupakan sebuah kisah yang membunuh kolonialisme. Reformasi pendidikan di kalangan elit bumiputra pada akhirnya memunculkan pergerakan nasional dan mengakhiri kolonialisme Belanda di Nusantara, serta memantik gerakan antikolonial serupa di Afrika. 85 tahun setelah terbitnya Max Havelaar atau pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan diri sebagi bangsa yang merdeka.
Mengapa harus ke Museum Multatuli?
“Museum Multatuli merupakan museum antikolonial pertama di Indonesia,” kata Ubaidillah Muchtar, kepala Museum Multatuli, Kamis (14/03/2019).
Multatuli adalah martir kemanusiaan dan pejuang kesetaraan. Museum Multatuli merupakan kepingan sejarah bangsa ini. Keberadaan Museum Multatuli memperkaya khazanah wisata museum di Indonesia. Nilai edukasi Museum Multatuli berbeda dari museum lainnya, yakni menawarkan semangat antikolonialisme. Memasuki Museum Multatuli tidak dipungut biaya sepeser pun. Namun saya jamin, pulang dari museum Anda membawa pengalaman yang tak ternilai harganya.
“Museum itu bukan benda mati. Artinya keluar dari museum harus ada pemikiran untuk mencari informasi tambahan. Museum kan tidak menampung semuanya. Museum hanya pemantik saja. Dan yang selanjutnya ada kesadaran untuk tidak melakukan praktik-praktik yang dulu Multatuli tentang; penyalahgunaan kekuasaan; pengambilan hak orang lain; penindasan; koruptif. Kan Multatuli melawan itu. Kasarnya mah kalau sudah keluar dari Museum Multatuli, bisa bakar ban,” ujar Ubaidillah disertai derai tawa.
Museum tidak hanya sekadar menyimpan berbagai arsip dan merawat ingatan masa lalu semata. Museum mewariskan pelajaran dan nilai berharga tentang apa yang terjadi di masa lampau. Museum bak cermin bagi bangsa ini, agar kelak para generasi penerus bangsa dapat melangkah ke depan dan tidak jatuh pada lubang kesengsaraan yang sama. Seperti yang dipesankan Bung Karno –presiden pertama negara ini–, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!” Ayo ke museum!