Tak hanya pada masa Nabi Musa dan Fir’aun saja aliran sungai Nil menjadi rebutan.
Bahkan, dari zaman ke zaman, air sungai ini menjadi hal yang sangat vital menyangkut hajat hidup orang banyak yang tinggal di negara itu. Sejak dahulu air sungai ini menjadi “nyawa” bagi negara yang dialirinya. Jadi, tak sepele atau sekadar sarana hiburan berperahu sembari menonton tari perut seperti yang kini terjadi di Kairo.
Dan saat ini seiring akan dibangunnya waduk raksasa yang bernama Renaissance, yang dibangun di Sungai Nil oleh Etiopia, hal tersebut telah memicu masalah besar bagi negara-negara yang ada di bagian wilayah Afrika Utara, bahkan kini makin meletupkan ketegangan. Tak hanya negara Etiopia dan Mesir yang dibuat ribut. Negara Sudan yang juga dilewati aliran sungai Nil ikut terperangkap dalam ketegangan itu.
Melansir dari Ihram.co.id, kisruh soal air Sungai Nil tersebut kini sudah memasuki serangkaian perkembangan baru. Hal ini terutama terkait penolakan Pemerintah Etiopia untuk mengambil bagian dalam pembicaraan 27-28 Februari di Washington, yang dimaksudkan untuk menghasilkan kesepakatan akhir dengan Mesir dan Sudan tentang pengisian dan pengoperasian bendungan Sungai Nil itu.
Menanggapi sikap Etiopia, Mesir pun telah meluncurkan diplomasi internasional yang serius untuk menopang posisinya sehubungan dengan hak air Sungai Nil. Apalagi, setelah pihak Etiopia dituduh membawa Mesir bahwa semua keputusan yang ada kini telah melewatkan putaran pembicaraan terakhir.
Akibatnya, orang Mesir marah. Pihak Amerika yang telah menyusun kesepakatan dengan masukan teknis dari Bank Dunia pun merasa kecewa.
Bagi Mesir, air Sungai Nil itu hal yang sangat serius. Negara ini mengandalkan Sungai Nil untuk memenuhi 90 persen pasokan airnya. Bahkan, Mesir pun berpendapat bahwa memiliki aliran air Sungai Nil yang stabil adalah masalah bertahan hidup di negara di mana air sesuatu yang langka.